Rabu, 24 Mei 2017

I am?

DEPRESI
Petang itu, di sofa berwarna coklat di ruang tamu berukuran 4 x 4 meter persegi dengan tembok bercatkan magenta, aku duduk. Rasa harap dan cemas berkecamuk ketika kumenunggu kepastian yang akan merubah duniaku dalam sekejap. Ku tatap dalam-dalam mata Bapak dengan air mata tertahan di kelopak mataku. Namun Bapak hanya menunduk dan menatap meja kayu di depannya. Firasatku sudah buruk melihat situasi yang begitu tenang tidak seperti biasanya. Dunia serasa berhenti ketika Bapak benar-benar mengatakannya.
"Maaf, Bapak tidak bisa menguliahkan Jojo tahun ini!".
Aku terdiam sejenak. Pikiranku kosong. Badanku lemas. Tanganku tremor. Aku menjerit sejadi-jadinya. Memang pada saat itu aku sama sekali tidak bisa menerima apa yang Bapak katakan. Aku berteriak ingin mati saja. Mungkin semua menganggap aku berlebihan. Tapi ada alasan mengapa aku bertingkah gila seperti itu. Yang ada dibenakku adalah, jadi perjuanganku selama ini sia-sia? Mengerjakan ujian di satu perguruan tinggi ke perguruan tinggi lainnya? Menghabiskan banyak waktu, pikiran, dan tenaga? Lalu, apa yang harus kulakukan setahun ini? Apa kata teman-temanku? Aku adalah orang yang tidak bisa hanya berdiam diri saja di rumah.
Tangisku masih menjadi. Petang berlalu berganti malam. Bapak yang sudah habis kesabarannya pun sontak membentakku dengan keras.
"Kalau memang tidak bisa ya tidak. Kamu nangis nanti dikira ada orang mati disini!"
"Iya, biarin aku saja yang mati!" kataku dengan emosi yang meledak-ledak.
Ibuku yang melihatnya pun hanya mengelus dada dan menangis tak tega melihatku seperti itu.
Aku tahu betul bahwa sebenarnya mereka mungkin belum mampu menguliahkanku tahun ini. Namun perkataan Bapak sendiri lah yang memberikan harapan bahwa aku bisa kuliah.
Kecewa karena dibalik itu ada sesuatu yang seharusnya menjadi hak ku, tetapi di ambill dengan halus oleh saudara Bapak sendiri. Yah, uang itu untuk DP mobil pamanku. Oh, sial! Betapa bencinya aku kala itu. Paman yang aku kira baik, ternyata begitu menyedihkan. Aku datang dan menghampiri beliau di rumahnya. Bapak yang masih berharap bahwa uang warisan Kakek ku di tangan Paman, bisa di ambil untuk keperluanku kuliah. Terlihat begitu sabar menunggunya. Dari pagi hingga sore sekitar jam 4, Kami tidak henti-hentinya menunggu kepastian. Bisakah uang itu diambil?
"Gak bisa." Katanya singkat berjalan tanpa melirik sedikit pun pada Bapak.
Aku melihat kearah bangku di sampingku dimana Bapak duduk. Tertunduk malu dan kecewa. Yah, kecewa akan perlakuan adiknya. Melihat ekspresi Bapak, ingin aku menendang dan mengutukinya, sekali pun beliau adalah pamanku. Tapi aku ingat kata Ibu, semarah apapun kita tidak boleh mendoakan yang tidak baik. Lantas aku berteriak dengan lantang penuh airmata.
"Paman, semoga anda mendapatkan mobil yang bagus! Istri yang baik dan pengertian! Serta anak yang sholeh! Aku doakan semua untukmu, Paman!"
Doaku untuknya. Aku benar-benar merasakan sakit yang teramat dalam sore itu. Tidak tahu apalagi yang harus aku lakukan.
Dingin menusuk tulangku. Hujan mengguyur pagi. Aroma telur dadar kesukaanku berhembus dari dapur. Dengan mata sembab aku terbangun ketika ibuku mengetuk pintu kamar menyuruhku sarapan. Aku hanya membuka mata, tidak beranjak sedikit pun dari ranjang kesayangan. Masih dengan perasaan kecewa dan sakit hati luar biasa. Namun kali ini aku hanya diam. Lebih tenang. Tidak segila kemarin. Aku mulai bertanya, siapakah aku? Kenapa harus aku yang mengalami semua ini?
Sudah hampir sebulan sejak memori menyakitkan itu, hanya terdiam dan termenung di kamar. Keluar kamar hanya untuk seperlunya. Tidak bicara dengan siapapun. Tetap dengan pikiran kosong. Kerap kali Ibu dan Bapak mengajakku bicara dan bercanda seperti biasanya, namun hasilnya nihil. Aku hanya diam dengan tatapan sendu, tak merespon. Bagaimana bisa? Gadis periang dan cerewet sepertiku bisa diam membisu untuk kurun waktu yang lama.
"Jojo.....!" Teriak teman-teman SMA ku dari luar jendela kamar.
Ada sedikit perasaan gembira di sana. Teman-teman seperjuanganku, akhirnya mereka datang. Saat itu lah aku baru mau beranjak dari kasur selain untuk makan, minum dan mandi.
"Haiiii..." sapaku dengan nada lesu dan sedikit senyum tersungging di bibir.
"Main kuy! Kita eksplore pantai! Ayok lah!" kata Popon sambil memegang kameranya.
"Ayok lah Jo... Biar gak setress di rumah!" kata Wowo menyemangati.
Aku bergegas bersiap diri. Kubulatkan tekad untuk pergi bersama teman-teman. Benar kata Wowo, biar gak setresss. Tapi tunggu, ku perhatikan satu lagi sahabatku, Uus. Dia nampak lesu dan tak bersemangat. Ah, mungkin dia hanya sedang bete. Pikirku.
Deburan ombak memecah kesunyian di pantai selatan. Tawa si Wowo dan Popon tak henti-hentinya terdengar di telingaku. Wowo, lelaki sebaya yang berperawakan tinggi kurus dan sedikit lebay sukses membuatku tersenyum karena tingkah konyolnya. Begitu juga Popon, si gadis tinggi yang ceplas-ceplos juga dengan tingkah kekanakan mengejek Wowo. Di bibir pantai, terlihat Uus hanya duduk dan tersenyum memandangi kami yang cekikikan tidak jelas. Tidak biasanya Uus seperti itu.
Sepulang dari pantai, aku menanyakan Uus via Whatsapp, mengapa dia seperti itu?
"Us, lu kenapa dah murung gitu tadi? Biasanya kan lu alay bin lebay. Wkwk."
"Gue galau, Jo. Gue gak bisa kuliah tahun ini." Balasnya dengan emot menangis.
"Kok bisa? Gua juga Us. Sama kayak lu."
"Gilak. Kok bisa sih? Aaaargh Jojo! Kenapa kita harus samaan lagi kayak gitu?"
Uus sahabat seperjuangan, ternyata tak bisa kuliah dengan alasan yang tak jauh beda denganku. Uang untuk kuliahnya dipakai oleh saudara ibunya. Bahkan lebih parah, ia harus menggadaikan rumahnya demi melunasi hutang pamannya.
Hatiku semakin hancur ketika mendengar berita itu. Aku merasakan apa yang ia rasakan. Sakit sekali. Entah kenapa kami berdua selalu memiliki kesamaan. Dia adalah sahabat yang berjuang denganku, mulai dari masuk kelas 11 jurusan IPA, ujian SBMPTN, STAN, Ujian Mandiri, sampai ujian perguruan tinggi swasta yang membuat aku lolos di prodi impianku, Ilmu Komunikasi. Dan prodi impian Uus, Teknik Sipil. Mulai saat itu, aku semakin dekat dengan teman yang bersuara cempreng ini.
Sebulan kemudian ia mengajakku ke pantai. Kami curhat satu sama lain, mulai dari mengingat hal-hal konyol saat SMA, dimarahi pak satpam saat ujian PKN STAN karena aku salah pakaian, dan bercerita diterimanya aku di perguruan tinggi negeri namun tidak sesuai dengan prodi pilihanku. Tawa itu berubah menjadi tangis ketika kami berdua membicarakan apa yang akan kami lakukan selanjutnya.
"Jojo... apa yang harus kita lakukan Jo?" katanya merengek.
"Aku aja gak tau, Us. Aha! Gimana kalo kita jadi TKW aja ke Korea. Lumayan, siapa tahu bisa ketemu Oppa-Oppa?" tercetuslah ide konyol dari pikiranku.
"Gilak Jo! Yang agak masuk akal ada gak sih?" jawabnya menangis sambil tertawa.
"Kalo gue nikah aja gimana, Jo? Daripada kuliah? Lumayan juga tuh!" jawabnya dengan nada serius.
"Nikah sama siapa? Lu kan jomblo, Us!" jawabku kesal.
"Aish! Iya juga, udah jomblo, gak kuliah, dompet pas-pasan! Sial bener nasib kita!" katanya sambil melemparkan sandalnya.
"Us, aku sedih kalau lihat chat di grup. Mereka udah mau ospek kuliah. Aku juga pengen rasanya ngerjain tugas, laporan dan di ospek sama kakak tingkat." Kataku dengan nada lesu.
"Itu alasanku gak pernah muncul di grup kelas, Jo."
Kami termenung sejenak. Kami meluapkan semua emosi dengan berteriak sekeras mungkin di pantai. Setidaknya hati kami sedikit lebih lega, menerima semua yang kami alami.
Saat itu aku benar-benar merasa down dan bingung dengan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Miris, sudah jomblo, teman-teman sibuk dengan dunia barunya, jika terus-terusan di rumah pasti aku akan selalu mengenang moment menyakitkan itu, dan kemudian menangis sampai tertidur.
Hampir setiap minggu aku dan Uus bertemu. Kami sudah mulai bangkit untuk menata kembali hidup kami. Tidak mau terlarut dalam kenangan menyedihkan. Kami mulai merancang rencana-rencana luar biasa dan mulai melupakan semuanya. Bahkan, kami merencanakan untuk membuka online shop K-POP agar kami bisa mendapatkan uang. Selain itu, kami berencana untuk kursus bahasa inggris dan sejenisnya. Tapi apa daya?
Seminggu kemudian dia mengabariku bahwa dia sudah diterima kerja di salah satu Koperasi Simpan Pinjam di kota ku. Semua rencana yang telah kami susun sedemikian rupa, hanyalah menjadi sebuah rencana. Aku senang akan kabarnya, tapi juga bingung. Apa yang harus ku lakukan lagi? Siapakah aku? Kenapa aku selalu pada bagian yang menyakitkan?
Semangat untuk membuka lembaran baru. Kini luntur seketika. Aku kembali pada porsi ku yang menyedihkan. Kembali termenung dalam diam. Menangis di pojokan kamar. Dan pada titik jenuhku. Aku mulai berpikiran tidak rasional. Mati. Ciri-ciri orang depresi sudah melekat kuat pada ku. Mulai dari sikap yang selalu murung, sedih berlebihan, mudah tersinggung, mudah marah, merasa tidak berharga, bahkan berniat untuk bunuh diri.
"Dek, ambilkan pisau dek!" kataku dengan tersenyum kepada adik ku yang masih berumur 8 tahun.
Pagi hari, entah setan apa yang merasuki tubuhku, aku pun mencoba bunuh diri dengan menancapkan pisau itu di perutku. Oh, sial! Mau ku tusukkan berapa kali pun tetap tidak bisa. Karena yang ada hanyalah pisau untuk kue.
Tidak habis pikir, aku pun mengambil cairan pembersih lantai dan berniat untuk meminumnya hingga nyawaku melayang. Tapi, aku masih sedikit takut karena rasa pahit luar biasa yang mungkin akan aku rasakan. Bukan karena efek dari meminum cairan terssebut.
Aku mengurungkan niatku. Lagi, sore hari aku menyuruh adik ku mengambil tali apapun yang ada. Dan untungnya, ibuku melihat tingkah anehku yang memegang tali panjang. Ibuku menangis dan memohon untuk menyudahi semuanya.
"Jo.. udah Jo... kasian Ibu ya! Jangan kaya gitu lagi Jo! Kamu harus ikhlas!"
Aku hanya diam dan menangis tersedu. Tidak tahan, Ibu pun mengundang Habib, yang mungkin bisa membantu sadar.
"Mbak Jojo. Kok kaya gini sih? Ini pasti bukan mbak Jojo. Mbak Jojo yang saya tahu itu ceria, penuh semangat, cerewet, dan suka tersenyum. Bukan yang seperti ini!" kata Habib dengan nada lembut.
Pandangan mata kosong. Aku tetap terdiam tanpa sepatah kata. Aku merasa jiwaku benar-benar kosong. Hampa. Tidak ada yang mengerti perasaanku. Aku seperti berjalan di lorong yang panjang, sangat panjang. Gelap. Dan melelahkan. Hingga membuatku ingin mati saja.
Malam hari. Entah itu karena doa-doa yang ditujukan padaku. Aku seperti diberi hidayah oleh Tuhan. Teman SMP ku dulu, Mifta. Mengajakku ke sebuah kota dimana aku bisa belajar bahasa Inggris. Dan membuatku bangkit dari kesedihan. Kota dimana aku benar-benar bisa menerima semua yang sudah ditakdirkan untukku. Kota dimana aku mulai menjadi dewasa. Kota dimana aku mendapatkan banyak cinta, cerita, sahabat, dan keluarga. Pare.