DEPRESI
Petang itu, di sofa berwarna coklat di ruang tamu berukuran 4 x 4 meter persegi
dengan tembok bercatkan magenta, aku duduk. Rasa harap dan cemas berkecamuk
ketika kumenunggu kepastian yang akan merubah duniaku dalam sekejap. Ku tatap
dalam-dalam mata Bapak dengan air mata tertahan di kelopak mataku. Namun Bapak
hanya menunduk dan menatap meja kayu di depannya. Firasatku sudah buruk melihat
situasi yang begitu tenang tidak seperti biasanya. Dunia serasa berhenti ketika
Bapak benar-benar mengatakannya.
"Maaf,
Bapak tidak bisa menguliahkan Jojo tahun ini!".
Aku terdiam sejenak. Pikiranku
kosong. Badanku lemas. Tanganku tremor. Aku menjerit sejadi-jadinya. Memang
pada saat itu aku sama sekali tidak bisa menerima apa yang Bapak katakan. Aku
berteriak ingin mati saja. Mungkin semua menganggap aku berlebihan. Tapi ada
alasan mengapa aku bertingkah gila seperti itu. Yang ada dibenakku adalah, jadi
perjuanganku selama ini sia-sia? Mengerjakan ujian di satu perguruan tinggi ke
perguruan tinggi lainnya? Menghabiskan banyak waktu, pikiran, dan tenaga? Lalu,
apa yang harus kulakukan setahun ini? Apa kata teman-temanku? Aku adalah orang
yang tidak bisa hanya berdiam diri saja di rumah.
Tangisku masih menjadi. Petang
berlalu berganti malam. Bapak yang sudah habis kesabarannya pun sontak
membentakku dengan keras.
"Kalau memang tidak bisa ya
tidak. Kamu nangis nanti dikira ada orang mati disini!"
"Iya, biarin aku saja yang
mati!" kataku dengan emosi yang meledak-ledak.
Ibuku yang melihatnya pun hanya
mengelus dada dan menangis tak tega melihatku seperti itu.
Aku tahu betul bahwa sebenarnya
mereka mungkin belum mampu menguliahkanku tahun ini. Namun perkataan Bapak
sendiri lah yang memberikan harapan bahwa aku bisa kuliah.
Kecewa karena dibalik itu ada
sesuatu yang seharusnya menjadi hak ku, tetapi di ambill dengan halus oleh
saudara Bapak sendiri. Yah, uang itu untuk DP mobil pamanku. Oh, sial! Betapa
bencinya aku kala itu. Paman yang aku kira baik, ternyata begitu menyedihkan.
Aku datang dan menghampiri beliau di rumahnya. Bapak yang masih berharap bahwa
uang warisan Kakek ku di tangan Paman, bisa di ambil untuk keperluanku kuliah.
Terlihat begitu sabar menunggunya. Dari pagi hingga sore sekitar jam 4, Kami
tidak henti-hentinya menunggu kepastian. Bisakah uang itu diambil?
"Gak bisa." Katanya
singkat berjalan tanpa melirik sedikit pun pada Bapak.
Aku melihat kearah bangku di
sampingku dimana Bapak duduk. Tertunduk malu dan kecewa. Yah, kecewa akan
perlakuan adiknya. Melihat ekspresi Bapak, ingin aku menendang dan
mengutukinya, sekali pun beliau adalah pamanku. Tapi aku ingat kata Ibu,
semarah apapun kita tidak boleh mendoakan yang tidak baik. Lantas aku berteriak
dengan lantang penuh airmata.
"Paman, semoga anda
mendapatkan mobil yang bagus! Istri yang baik dan pengertian! Serta anak yang
sholeh! Aku doakan semua untukmu, Paman!"
Doaku untuknya. Aku benar-benar
merasakan sakit yang teramat dalam sore itu. Tidak tahu apalagi yang harus aku
lakukan.
Dingin menusuk tulangku. Hujan
mengguyur pagi. Aroma telur dadar kesukaanku berhembus dari dapur. Dengan mata
sembab aku terbangun ketika ibuku mengetuk pintu kamar menyuruhku sarapan. Aku
hanya membuka mata, tidak beranjak sedikit pun dari ranjang kesayangan. Masih
dengan perasaan kecewa dan sakit hati luar biasa. Namun kali ini aku hanya diam.
Lebih tenang. Tidak segila kemarin. Aku mulai bertanya, siapakah aku? Kenapa
harus aku yang mengalami semua ini?
Sudah hampir sebulan sejak memori
menyakitkan itu, hanya terdiam dan termenung di kamar. Keluar kamar hanya untuk
seperlunya. Tidak bicara dengan siapapun. Tetap dengan pikiran kosong. Kerap
kali Ibu dan Bapak mengajakku bicara dan bercanda seperti biasanya, namun
hasilnya nihil. Aku hanya diam dengan tatapan sendu, tak merespon. Bagaimana
bisa? Gadis periang dan cerewet sepertiku bisa diam membisu untuk kurun waktu
yang lama.
"Jojo.....!" Teriak
teman-teman SMA ku dari luar jendela kamar.
Ada sedikit perasaan gembira di
sana. Teman-teman seperjuanganku, akhirnya mereka datang. Saat itu lah aku baru
mau beranjak dari kasur selain untuk makan, minum dan mandi.
"Haiiii..." sapaku
dengan nada lesu dan sedikit senyum tersungging di bibir.
"Main kuy! Kita eksplore
pantai! Ayok lah!" kata Popon sambil memegang kameranya.
"Ayok lah Jo... Biar gak
setress di rumah!" kata Wowo menyemangati.
Aku bergegas bersiap diri.
Kubulatkan tekad untuk pergi bersama teman-teman. Benar kata Wowo, biar gak
setresss. Tapi tunggu, ku perhatikan satu lagi sahabatku, Uus. Dia nampak lesu
dan tak bersemangat. Ah, mungkin dia hanya sedang bete. Pikirku.
Deburan ombak memecah kesunyian
di pantai selatan. Tawa si Wowo dan Popon tak henti-hentinya terdengar di
telingaku. Wowo, lelaki sebaya yang berperawakan tinggi kurus dan sedikit lebay
sukses membuatku tersenyum karena tingkah konyolnya. Begitu juga Popon, si
gadis tinggi yang ceplas-ceplos juga dengan tingkah kekanakan mengejek Wowo. Di
bibir pantai, terlihat Uus hanya duduk dan tersenyum memandangi kami yang
cekikikan tidak jelas. Tidak biasanya Uus seperti itu.
Sepulang dari pantai, aku
menanyakan Uus via Whatsapp, mengapa dia seperti itu?
"Us, lu kenapa dah murung
gitu tadi? Biasanya kan lu alay bin lebay. Wkwk."
"Gue galau, Jo. Gue gak bisa
kuliah tahun ini." Balasnya dengan emot menangis.
"Kok bisa? Gua juga Us. Sama
kayak lu."
"Gilak. Kok bisa sih?
Aaaargh Jojo! Kenapa kita harus samaan lagi kayak gitu?"
Uus sahabat seperjuangan,
ternyata tak bisa kuliah dengan alasan yang tak jauh beda denganku. Uang untuk
kuliahnya dipakai oleh saudara ibunya. Bahkan lebih parah, ia harus menggadaikan
rumahnya demi melunasi hutang pamannya.
Hatiku semakin hancur ketika
mendengar berita itu. Aku merasakan apa yang ia rasakan. Sakit sekali. Entah
kenapa kami berdua selalu memiliki kesamaan. Dia adalah sahabat yang berjuang
denganku, mulai dari masuk kelas 11 jurusan IPA, ujian SBMPTN, STAN, Ujian
Mandiri, sampai ujian perguruan tinggi swasta yang membuat aku lolos di prodi
impianku, Ilmu Komunikasi. Dan prodi impian Uus, Teknik Sipil. Mulai saat itu,
aku semakin dekat dengan teman yang bersuara cempreng ini.
Sebulan kemudian ia mengajakku ke
pantai. Kami curhat satu sama lain, mulai dari mengingat hal-hal konyol saat
SMA, dimarahi pak satpam saat ujian PKN STAN karena aku salah pakaian, dan
bercerita diterimanya aku di perguruan tinggi negeri namun tidak sesuai dengan
prodi pilihanku. Tawa itu berubah menjadi tangis ketika kami berdua
membicarakan apa yang akan kami lakukan selanjutnya.
"Jojo... apa yang harus kita
lakukan Jo?" katanya merengek.
"Aku aja gak tau, Us. Aha!
Gimana kalo kita jadi TKW aja ke Korea. Lumayan, siapa tahu bisa ketemu
Oppa-Oppa?" tercetuslah ide konyol dari pikiranku.
"Gilak Jo! Yang agak masuk
akal ada gak sih?" jawabnya menangis sambil tertawa.
"Kalo gue nikah aja gimana,
Jo? Daripada kuliah? Lumayan juga tuh!" jawabnya dengan nada serius.
"Nikah sama siapa? Lu kan
jomblo, Us!" jawabku kesal.
"Aish! Iya juga, udah
jomblo, gak kuliah, dompet pas-pasan! Sial bener nasib kita!" katanya
sambil melemparkan sandalnya.
"Us, aku sedih kalau lihat
chat di grup. Mereka udah mau ospek kuliah. Aku juga pengen rasanya ngerjain
tugas, laporan dan di ospek sama kakak tingkat." Kataku dengan nada lesu.
"Itu alasanku gak pernah
muncul di grup kelas, Jo."
Kami termenung sejenak. Kami
meluapkan semua emosi dengan berteriak sekeras mungkin di pantai. Setidaknya
hati kami sedikit lebih lega, menerima semua yang kami alami.
Saat itu aku benar-benar merasa
down dan bingung dengan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Miris, sudah
jomblo, teman-teman sibuk dengan dunia barunya, jika terus-terusan di rumah
pasti aku akan selalu mengenang moment menyakitkan itu, dan kemudian menangis
sampai tertidur.
Hampir setiap minggu aku dan Uus
bertemu. Kami sudah mulai bangkit untuk menata kembali hidup kami. Tidak mau
terlarut dalam kenangan menyedihkan. Kami mulai merancang rencana-rencana luar
biasa dan mulai melupakan semuanya. Bahkan, kami merencanakan untuk membuka
online shop K-POP agar kami bisa mendapatkan uang. Selain itu, kami berencana
untuk kursus bahasa inggris dan sejenisnya. Tapi apa daya?
Seminggu kemudian dia mengabariku
bahwa dia sudah diterima kerja di salah satu Koperasi Simpan Pinjam di kota ku.
Semua rencana yang telah kami susun sedemikian rupa, hanyalah menjadi sebuah
rencana. Aku senang akan kabarnya, tapi juga bingung. Apa yang harus ku lakukan
lagi? Siapakah aku? Kenapa aku selalu pada bagian yang menyakitkan?
Semangat untuk membuka lembaran
baru. Kini luntur seketika. Aku kembali pada porsi ku yang menyedihkan. Kembali
termenung dalam diam. Menangis di pojokan kamar. Dan pada titik jenuhku. Aku
mulai berpikiran tidak rasional. Mati. Ciri-ciri orang depresi sudah melekat
kuat pada ku. Mulai dari sikap yang selalu murung, sedih berlebihan, mudah
tersinggung, mudah marah, merasa tidak berharga, bahkan berniat untuk bunuh
diri.
"Dek, ambilkan pisau
dek!" kataku dengan tersenyum kepada adik ku yang masih berumur 8 tahun.
Pagi hari, entah setan apa yang
merasuki tubuhku, aku pun mencoba bunuh diri dengan menancapkan pisau itu di
perutku. Oh, sial! Mau ku tusukkan berapa kali pun tetap tidak bisa. Karena
yang ada hanyalah pisau untuk kue.
Tidak habis pikir, aku pun
mengambil cairan pembersih lantai dan berniat untuk meminumnya hingga nyawaku
melayang. Tapi, aku masih sedikit takut karena rasa pahit luar biasa yang
mungkin akan aku rasakan. Bukan karena efek dari meminum cairan terssebut.
Aku mengurungkan niatku. Lagi,
sore hari aku menyuruh adik ku mengambil tali apapun yang ada. Dan untungnya,
ibuku melihat tingkah anehku yang memegang tali panjang. Ibuku menangis dan
memohon untuk menyudahi semuanya.
"Jo.. udah Jo... kasian Ibu
ya! Jangan kaya gitu lagi Jo! Kamu harus ikhlas!"
Aku hanya diam dan menangis
tersedu. Tidak tahan, Ibu pun mengundang Habib, yang mungkin bisa membantu
sadar.
"Mbak Jojo. Kok kaya gini
sih? Ini pasti bukan mbak Jojo. Mbak Jojo yang saya tahu itu ceria, penuh
semangat, cerewet, dan suka tersenyum. Bukan yang seperti ini!" kata Habib
dengan nada lembut.
Pandangan mata kosong. Aku tetap
terdiam tanpa sepatah kata. Aku merasa jiwaku benar-benar kosong. Hampa. Tidak
ada yang mengerti perasaanku. Aku seperti berjalan di lorong yang panjang,
sangat panjang. Gelap. Dan melelahkan. Hingga membuatku ingin mati saja.
Malam hari. Entah itu karena
doa-doa yang ditujukan padaku. Aku seperti diberi hidayah oleh Tuhan. Teman SMP
ku dulu, Mifta. Mengajakku ke sebuah kota dimana aku bisa belajar bahasa
Inggris. Dan membuatku bangkit dari kesedihan. Kota dimana aku benar-benar bisa
menerima semua yang sudah ditakdirkan untukku. Kota dimana aku mulai menjadi
dewasa. Kota dimana aku mendapatkan banyak cinta, cerita, sahabat, dan
keluarga. Pare.